Diam yang Bersuara

Di kesunyian malam, ku berharap sang fajar segera datang
Membawa perih di hati yang terluka oleh ingatan yang masih membekas
Ketika dingin mulai menyelinap, dan rintik hujan menghilang
Dengan air mata ku terakan samar wajahmu yang sedang tertidur pulas

Lamunan selalu membawaku pergi jauh
Menuju tempat yang tak ku tahu kemana jalan pulang
Kosong, bagai daun kering yang jatuh ke tanah lalu terinjak-injak dan terkotori
Menyatu dengan tanah atau bergabung bersama sampah

Bebaring di atas bekas makam dengan mata terbuka menatap ranting kering
Sambil berharap bisa mendengar suara jerit dari siksa kubur
Barangkali lebih kuat dari rintihan hati, agar jiwa mampu diobati
Namun apa daya, jeritan kubur tak ku dengar, justru air mata yang berlinang

Kantuk tak kunjung tiba, aku semakin tersasar di dalam dunia rana
Udara pagi kian mendekat, ku dekap erat-erat bekas luka yang menghiasi dinding jiwa
Bersamaan dengan upaya membesarkan hati yang sepertinya sia-sia
Lelah tapi tak terlelap, ku diam namun tetap bersuara

Ingin sekali aku pergi, menghadapi dunia dengan berlari
Menjadi liar, mengejar dunia dengan menghindar
Ingin sekali aku terbang, mengenang masa lalu dengan melayang
Merasa asing, menggunting masa depan dengan berpaling

Awan terang merayap mendekat, mencekik tenggorokan yang masih terikat
Sangat ku ingat kalimat yang kau lontarkan kepadaku pagi itu
Sampai kemilau sang bulan berangsur padam, tak ku mengerti mengapa rasa sakit ini begitu pekat
Esok hari mungkin datang menjelang, tapi belum tentu dengan nyawaku

Matahari terlihat sangat dekat, ketika ajal tumbuh bagai benalu
Tawa di wajah bisa dipahat, belum tentu dengan cacat di kalbu
Siang malam bergerak cepat, waktu pun tak kalah terus berpacu
Sakit di tubuh mudah dilihat, sakit di hati siapa yang tahu

Mungkin kau belum menyadari, begitu pentingnya kuatmu untuk kuatku
Maka tak ayal sering kau acuhkan rasa lemah mengganggu konsentrasi hidupmu
Mungkin aku belum mengetahui, apa yang sebenarnya sedang menggerogotimu
Hingga sepertinya kasih sayang tak lagi cukup membantu

Tak peduli jika harus menelan ludah, meminum darah, atau menenggak nanah
Aku akan terus begini, tetap di sini, bergenggaman teguh dengan pendirianku sendiri, menyayangimu sepenuh hati
Bila ku kabur dari dunia ini, sumpahi saja aku terhisap panasnya neraka merah
Seandainya pun aku harus mati, kasihku untukmu akan terus berada di bumi

Panas di sekujur tubuh mampu merenggut kesadaran
Meringis terpejam, mengerang dengan gigi bergetar
Luka di tubuh bisa hilang, luka di hati bisa sembuh perlahan
Namun tidak dengan cintaku, yang jua takkan pudar

Dan ku biarkan kecemburuanku mewarnai langit malam
Karena telah ku izinkan sang hujanlah yang menemani tidurmu
Walau awan dan pelangi mustahil bisa tersulam
Namun ku yakin pasti, ceriamu mampu melakukan itu di sini, di senyumku

19 Februari 2013

Leave a comment