Dimana lagi kita bisa menari di atas api
Jika bukan di dalam puisi
Yang kita tulis di atas hati
Dengan pena bertintakan nurani
Dimana lagi kita bisa membunuh manusia yang paling kita benci
Jika bukan di dalam pikiran
Yang kita jaga kesuciannya dengan segenap kekuatan
Namun kenyataannya tetap saja masih bisa mendengki
Pikiran adalah alam bebasmu, alam liar, tanpa koridor, tiada rantai pembatas
Puisi adalah air yang mengalir dari dunia pikiranmu, ke dunia nyatamu
Adalah penghubung antara dua kehidupan yang tentu saja sama-sama hidup
Bedanya adalah, dunia nyata itu menyulitkan dan penuh penderitaan
Angin malam mendobrak masuk ke dalam perapianku
Melalui jendela yang terlapisi kain hijau berdebu
Aku tak peduli, siapapun boleh masuk, siapapun boleh berkunjung
Aku saja tak pernah melarang dosa untuk ikut bergabung
Jika bukan hitam putih
Apakah bisa disebut potret masa dulu?
Jika tidak penuh warna
Apakah bisa disebut potret masa kini?
Warna itu ajaib, warna mampu membedakan
Apa warna isi hatimu? Apa warna isi pikiranmua? Apa warna puisimu?
Jika kau mampu membuat warnanya dilihat oleh empu kehidupan
Puisimu adalah cermin bening dari pikiran dan hatimu
Lalu bagaimana jika kau tidak mampu membuat warnanya terlihat?
Maka setidaknya kau mampu membuatnya dimengerti
Tidak oleh egomu sendiri, tapi juga oleh keikhlasan di luar kuasa pribadi
Mereka tak perlu menggali untuk memahami, mereka tak harus mendaki untuk mengingat
Ketika puisi bercerita, ia akan menceritakan kehidupanmu
Semua pesona kicauan burung yang berada di dahan terpuncak
Setiap jejak cacing busuk yang berada di makam terdalam
Puisi akan menceritakan semuanya
Ketika aku bilang semuanya, maka tidak ada satupun titik yang terlewatkan
Tidak seperti mata manusia yang selalu terfokus melihat kesalahan
Tidak seperti mata elang yang selalu berkonsentrasi pada sasaran bukan pada lawan
Tidak seperti lampu jalanan yang hanya bisa menerangi tanah yang bisa ia jangkau
Ucapan biasa dari manusia biasa sering kali kotor
Jari manusia juga sering menulis hal-hal buruk
Ubahlah menjadi lembaran puisi
Membenci akan mengganti kulitnya menjadi memuji
Sebuah metafora bisa mengubah ekspresi apapun
Seikat personifikasi bisa memanusiawikan benda apapun
Setabur hiperbola mampu menghibur kegundahan apapun
Yang kata-kata biasa tidak mampu melakukannya, tidak sekalipun
Mengapa tak jadikan luapan emosimu menjadi sebuah musik?
Itu bagus selama emosimu tidak tergerus
Oleh distorsi jiwa dan harta dunia
Penggoda birahi dan penikmat keterpurukan
Aku bisa melihat masa lalu melalui langit hitam
Bintang ku pandang, mungkin sudah melebur dengan angkasa sekarang
Aku mampu melihat masa depan melalui langit pagi
Cahaya yang ku pandangi semakin terang akan menarik keluar matahari
Ketika puisi bercerita
Adalah ketika kau mengizinkannya untuk menjelajahi setiap sudut kehidupanmu
Ia takkan angkat bicara jika seluruh organmu diam
Ia akan mati jika kau tak membuka parasut ketika terjun
Dimana lagi kau bisa menyampaikan kerinduan
Dimana lagi kasih sayangmu dapat disuarakan
Tanpa harus didengar dan diketahui
Jika bukan melalui sebuah puisi
Dimana lagi pujianmu menguap menuju langit, dan menjadi awan
Dimana lagi nyanyianmu burukmu, mengalir indah walau tanpa nada
Dimana lagi cinta tulusmu tertulis tanpa pamrih
Jika bukan melalui puisi